Sejarah/Biografi

Kebangkitan Ummat Islam yang Pertama

Tahun 400 H adalah tahun di mana ummat Islam berada dalam keterpurukan yang sangat parah. Pada saat itu Daulah Islamiyah Abbasiyah memerintah, tetapi tidak mampu mengendalikan negara. Lahir kesultanan-kesultanan kecil yang bergerak secara otonom. Bahkan di Mesir berdiri juga Daulah Fathimiyah yang beraqidah Syiah Ismailiyyah Bathiniyah.

Sementara itu rakyat dalam keadaan yang sangat sengsara dimana sembako demikian mahalnya sehingga harga sebuah apel setara harga emas. Tentu saja ini menimbulkan dampak tingginya tingkat kriminalitas. Bahkan pada masa ini muncul sebuah kelompok pembunuh yang berafiliasi kepada syiah, yang dikenal dengan nama Assasin/Hasysyasin.

Sedangkan kaum cendekiawan muslim tidak berhenti berdebat tentang pepesan kosong. Agama hanyalah sebuah ritual yang sifatnya formalitas belaka. Pertentangan antar mahzabpun demikian hebatnya antara keempat mahzab tersebut. Sehingga menimbulkan kebingungan dan perpecahan yang amat sangat dikalangan ummat. Perdebatan ini sedemikian fanatiknya sehingga puncaknya adalah terbunuhnya Menteri Nizhamul Muluk yang juga merupakan Rektor Perguruan Tinggi An Nizhamiyyah dimana saat itu Imam Al Ghazali menjadi salah satu guru besarnya.

Musibah terbesar pada saat itu adalah jatuhnya Baitul Maqdis ke tangan pasukan salib pada tahun 492 Hijriah.

Jatuhnya Baitul Maqdis ke tangan pasukan Salib, menimbulkan reaksi-reaksi yang beragam dikalangan ummat. Ada yang langsung mengangkat senjata menyerukan jihad, tetapi ini hanya menjadi riak yang menghajar karang saja. Sementara ada yang melakukan pendekatan dan gerakan secara politis. Inipun tidak membuahkan hasil.

Maka langkah yang diambil para ulama saat itu adalah melakukan gerakan islah keilmuan. Para ulama dari berbagai mahzab berkumpul untuk menentukan konsep pendidikan yang ‘baru’ yang mampu memperbaiki keadaan ummat.

Imam Al Ghazali, Imam Abdul Qadir Al Jilani, Imam Ibnu Aqil dan lain-lain berkumpul untuk menganalisa kondisi dan penyakit ummat.

Pertanyaan besarnya adalah apabila Islam adalah merupakan sebuah atau satu-satunya solusi dalam kehidupan, mengapa ummat Islam tidak mampu menyampaikan atau risalah ini sehingga menjadi rahmat bagi seluruh alam?

Tentu hal ini harus dianalisa dan dicari akar permasalahannya sehingga diperoleh solusi yang menyeluruh. Bukannya diambil langkah-langkah reaksioner dan respons yang sifatnya terbatas pada sebuah event. Ibarat dokter adalah menyembuhkan biang penyakitnya, bukan mengobati gejalannya.

Hasil diskusi para Ulama zaman itu adalah ternyata permasalah ummat terletak pada hal-hal yang abstrak seperti permasalahan konsep ilmu, pemikiran dan sistem nilai dan budaya. Sementara permasalahan seperti tingginya kriminalitas, kemiskinan dan kekisruhan politik adalah merupakan gejala dan dampak dari rusaknya system ilmu, nilai dan budaya.

Hal inilah yang menyebabkan Imam Al Ghazali lebih sering menulis kitab semacam Ihya Ulumuddin, Kimiyatus Saadah, Minhajul Abidin, dibanding kitab tentang jihad dan pembebasan Palestina.

Para ulama pada masa itu lebih mementingkan membahas tentang ‘why’ daripada membahas tentang ‘how’.

Inilah inti pembahasan para Ulama saat itu. Beliau-beliau lebih peduli kepada unsur-unsur instrinsik seperti khusyu nya shalat, amal-amal batin seperti ridha, ikhlas, tawadhu, juga menjauhi diri dari penyakit-penyakit batin seperti ujub, kibr, thama’, riya dll, dari pada masalah yang jelas terlihat seperti jatuhnya Baitul Maqdis ke tangan Pasukan Frank dan suap menyuap para pejabat korup.

Hal ini bukan berarti para ulama tidak peduli dengan permasalahan yang kasat mata, melainkan melakukan pengobatan langsung ke sumber penyakitnya.

Karena sesungguhnya tiada kemenangan bagi para pejuang yang berjuang tanpa disertai dengan keimanan kepada Allah. Tiada diterima ibadah seseorang yang tidak disertai keikhlasan sebagaimana akan rusaknya pasukan yang tidak menjadikan Allah sebagai tujuannya.

Bagaimana mungkin kita mampu menyampaikan Islam kepada mereka yang belum tersentuh Islam, sementara bagi kita Islam tidak sampai ditenggorokannya.

Karena itu didirikanlah madrasah-madrasah ishlah diberbagai kota kaum muslimin.

Madrasah Ishlah ini bertujuan untuk mencetak generasi baru ulama dan umara yang memiliki pemikiran dan saling berkelindan serta bertujuan ikhlas. Selain itu juga madrasah ini berfokus pada perbaikan dan pengobatan penyakit internal ummat Islam daripada sibuk mengurusi issue-isue yang muncul akibat dampak penyakit tersebut.

Tentu pekerjaan ini bukan pekerjaan semalam dua malam. Tetapi pekerjaan yang penuh kesabaran.

Para Ulama harus menunggu selama 50 tahun lebih munculnya Imam Ibnu Qudamah, Sultan Nuruddin Zanki dan kemudian Sultan Shalahudin Al Ayyubi yang akhirnya mampu membebaskan Baitul Maqdis dari tangan pasukan Salib.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *